Make a donation Talk Fusion Saling Memberi

Empat Brewok Dari Goa Sanggreng - 2

Kedua mata Mahesa Birawa alias Suranyali yang menutup dalam tidur-tidur ayam membuka lebar-lebar bila telinganya menangkap suara derap kaki kuda yang memasuki pekarangan. Dia bangun dan melangkah cepat ke pintu muka. Dan matanya yang tadi membuka lebar itu kini tampak membeliak. Setengah meloncat dia turun ke tanah. ”Ada apa dengan kalian?!” tanya Mahesa Birawa. Pertanyaan ini hampir merupakan teriakan. 

Kedua kuda itu berhenti. Penunggangnya, Kalingundil dan Saksoko turun perlahan-lahan. Pakaian mereka kotor oleh darah dan debu. Muka keduanya pucat pasi. Melihat ini Mahesa Birawa segera maklum bahwa kedua anak buahnya itu mendapat luka dalam yang parah. 

Kalingundil berdiri terbungkuk-bungkuk sambil mengurut dada. Pemandangannya masih berkunang-kunang. Saksoko begitu menginjakkan kedua kakinya di tanah segera tergelimpang, muntah darah lagi lalu pingsan! Mahesa Birawa melompat dan cepat menubruk Saksoko. Dari dalam sabuknya dikeluarkannya sebutir pil dan dimasukkannya ke dalam mulut Saksoko. Sebutir lagi kemudian diberikannya pada Kalingundil. 

”Telan cepat!,” katanya. ”Kalau sudah, lekas atur jalan nafas dan darahmu!” Kalingundil menelan pil yang diberikan lalu cepat-cepat duduk bersila di tanah untuk mengatur jalan nafas dan darahnya. Tak lupa dia mengalirkan tenaga dalamnya ke bagian tubuh yang tadi kena terpukul. 

Satu jam kemudian keadaan Kalingundil boleh dikatakan siuman meski masih berbaring menelentang di atas sebuah tempat tidur. ”Sekarang!” kata Mahesa Birawa sangat tidak sabar dan sambil menggeprak meja, ”terangkan apa yang terjadi Kalingundil!” Kalingundil tarik nafas panjang. Diurutnya dadanya beberapa kali lalu mulailah dia memberi keterangan. Dan bila Mahesa Birawa selesai mendengar keterangan itu maka mendidih darah di kepalanya. Mukanya hitam membesi. Kumisnya yang tebal melintang bergetar. Matanya yang memang sudah besar itu dalam keadaan melotot seperti mau tanggal dari rongganya! 

”Kalingundil! Siapkan kudaku! Panggil Majineng dan Krocoweti. Kalian bertiga ikut aku ke tempatnya itu manusia haram jadah! Lekas.....!” Kalingundil tanpa banyak bicara tinggalkan tempat itu. Tak lama kemudian kelihatanlah empat orang penunggang kuda menderu laksana terbang. Debu mengepul, pasir berhamparan. Mahesa Birawa memacu kudanya di muka sekali. 

Orang tua bernama Jarot Karsa itu mengusap dagunya. Tanpa berpaling pada Ranaweleng yang berdiri di sampingnya dengan mata yang memandang tajam ke muka dia berkata, ”Dugaan kita tidak salah, Raden. Mereka datang. Agaknya yang di depan sendiri itu adalah manusia yang bernama Mahesa Birawa.....” 

Ranaweleng memandang pula ke muka. Hatinya mengeluh. Inilah pertama selama menjadi Kepala Kampung dia menghadapi kesukaran dan kekerasan macam begini! Bahkan dia tadi belum sempat menyelesaikan pembicarannya dengan Suci ketika Jarot Karsa memanggilnya, memberi tahu kedatangan empat penunggang kuda itu. Ketika Mahesa Birawa sampai di halaman, Suci pun saat itu sudah berdiri di belakang suaminya. 

Mahesa Birawa hentikan kudanya. Sorotan matanya seganas kelaparan tertuju pada Ranaweleng. Di belakangnya Kalingundil memberikan kisikan. ”Laki-laki tua yang berdiri di dekat tiang itulah bangsatnya yang telah mencelakai aku dan Saksoko. Hati-hati terhadap dia, Mahesa. Ilmunya tinggi sekali.....” 

”Kau manusia kintel tutup mulut! Tak usah kasih nasihat padaku!” membentak Mahesa Birawa. 

Kalingundil terdiam. Digigitnya bibirnya. Dan saat itu dendam serta bencinya terhadap kedua orang yang berdiri di langkan rumah itu, terutama Jarot Karsa, tak dapat dilukiskan. Mahesa Birawa memandang sekilas pada Suci yang berdiri di belakang suaminya. Nafsu untuk dapat memiliki perempuan ini yang tak kesampaian atau belum kesampaian membuat amarahnya semakin meluap-luap. Dadanya seperti mau pecah. Saat itu meski sudah bersuami dan punya anak satu tapi Suci dilihatnya semakin tambah cantik dan muda jelita. 

Bola mata Mahesa Birawa bergerak ke jurusan Jarot Karsa setelah terlebih dahulu menyapu tampang Ranaweleng dengan garangnya. 

”Anjing tua yang di atas langkan turunlah untuk menerima mampus!” suara Mahesa Birawa begitu lantang dan menggeletarkan karena disertai tenaga dalam yang tinggi sudah mencapai puncak kesempurnaannya. Jarot Karsa sunggingkan senyum tawar. Sekali dia menggerakkan kedua kakinya maka setengah detik kemudian dia sudah berdiri di tanah, beberapa tombak di hadapan kuda Mahesa Birawa. Gerakannya waktu melompat tadi enteng sekali. Senyum datar yang mengejek tersungging lagi di mulut orang tua ini. 

”Ini manusianya yang bernama Mahesa Birawa?! Yang inginkan istri orang?! Kalau kau tidak sedeng tentu sinting! Apa kunyukmu yang satu ini sudah kasih tahu padamu agar mencari dukun untuk mengobati otak miringmu?!” 

Bergetar badan Mahesa Birawa mulai dari ubun-ubun sampai ke ujung jari-jari kaki! ”Anjing tua yang tak tahu diri, hari ini terpaksa kau harus pasrahkan nyawa kepadaku!” Mahesa Birawa enjot diri, melompat turun dari kuda. Dalam keadaan tubuh melayang demikian rupa kedua tangannya dipukulkan ke muka. Dua rangkum angin sedahsyat badai menyerbu orang tua yang membungkuk itu. Debu dan pasir mengebubu! 

Jarot Karsa melengking dan melompat setinggi tiga tombak ke atas. Angin pukulan yang dahsyat lewat di bawah kedua kakinya. Pada detik dia hendak mengirimkan serangan balasan maka berserulah Ranaweleng. 

”Bapak Jarot minggirlah, biar aku yang hadapi manusia pengacau ini!” 

”Ah Raden....,” kata Jarot Karsa dalam keadaan tubuh masih mengapung di udara. 

”Biarlah aku yang sudah tua ini kasih pelajaran padanya! Tak usah Raden bersusah payah. Dalam satu dua jurus ini akan kusapu badannya keluar halaman!” 

Mahesa Birawa kertakkan rahang. Dua tinjunya bergerak susul menyusul. Deru angin yang dahsyat melanda ke arah Jarot Karsa. Si orang tua, yang rupanya ingin menjajaki sampai di mana ketinggian tenaga dalam lawan, balas mengirimkan pukulan tangan kosong. 

Letusan sedahsyat meriam berdentum ketika dua tenaga dalam itu saling bentrokan di udara. Gendang-gendang telinga seperti menjadi pecah dan pekak. Tubuh Mahesa Birawa kelihatan berdiri gontai beberapa detik lamanya sedangkan Jarot Karsa jatuh duduk di tanah, mandi keringat dingin! 

Bukan saja Jarot Karsa sendiri, tapi Ranaweleng-pun kagetnya bukan main. Suci yang berdiri di belakang suaminya dan menyaksikan itu menjerit tertahan karena menyangka si orang tua mendapat celaka besar. Ternyata tenaga dalam Mahesa Birawa demikian tingginya, lebih tinggi dari tenaga dalam Jarot Karsa. 

Tahu kalau tenaga dalam lawan lebih unggul dari dia, Jarot Karsa segera melompat dan menyerang. Kedua tangannya bergerak demikian cepat hampir tak kelihatan, menyapu-nyapu dan sekali-kali menjotos ke muka dengan dahsyatnya. 

Hampir dua jurus Mahesa Birawa terkurung oleh pukulan-pukulan yang anginnya memerihkan matanya. Mahesa Birawa atau Suranyali mau tak mau mempercepat pula gerakannya. Tubuhnya kini laksana bayang-bayang. Bila satu jurus lagi berlalu, maka Jarot Karsa mulai merasakan tekanan-tekanan serangan yang membuatnya harus berhati-hati. Tiga jurus lagi berlalu. Tubuh kedua manusia itu sudah hampir tak kelihatan karena cepatnya gerakan mereka ditambah lagi dengan debu serta pasir yang menggebubu ke udara menutupi keduanya. 

Tiba-tiba diiringi dengan lengkingan yang menggetarkan dengan satu gerakan yang sukar ditangkap oleh mata Jarot Karsa, dengan mengandalkan ilmu mengentengi tubuhnya yang lebih tinggi sedikit dari lawan dia menyorongkan siku kirinya ke muka. Tubuh lawan di lihatnya mengelak ke samping dan sekaligus tangannya yang lain memapaki gerakan mengelak dari Mahesa Birawa. 

”Buk!!” 

Mahesa Birawa terjajar sampai dua tombak ke belakang. Mulutnya memencong menahan sakit pukulan tangan kanan Jarot Karsa yang bersarang di dada kirinya. Cepat-cepat dialirkannya tenaga dalamnya ke bagian yang terkena itu, Jarot Karsa tertawa mengekeh. ”Jika kau masih juga belum mau angkat kaki dari sini bersama kunyuk-kunyukmu itu, jangan menyesal kalau mukamu nanti akan benjat benjut macam mangga busuk!” 

Tampang Mahesa Birawa kelam membesi. Kedua kakinya merenggang. Tangan kiri dipentang lurus-lurus ke muka. Tangan kanan ditarik tinggi-tinggi ke belakang di atas kepala. Pelipisnya bergerak-gerak. Tangan kanan Mahesa Birawa kemudian kelihatan menjadi hijau dan bergeletar. 

”Bangsat tua bangka!” kertak Mahesa Birawa, ”lihat tangan kananku. Kenalkah kau akan pukulan yang akan kulepaskan ini....!” Jarot Karsa kerutkan kening. Matanya memandang lekat-lekat ke tangan kanan Mahesa Birawa yang semakin lama semakin bertambah hijau itu. Meski dia sudah hidup hampir tujuh puluh tahun, meski pengalamannya di dunia persilatan setinggi langit sedalam lautan namun kali ini mau tak mau tergetar juga hatinya melihat tangan kanan lawan itu, ditambah lagi dia sama sekali tidak tahu ilmu pukulan apakah yang akan dilancarkan oleh lawannya! 

Akan Ranaweleng, begitu melihat tangan Mahesa Birawa yang menjadi hijau itu, kagetnya bukan main. Dengan cepat dia memberikan kisikan pada Jarot Karsa dengan mempergunakan ilmu ”menyusupkan suara.” 

”Bapak Jarot, hati-hati. Pukulan yang hendak dilepaskan itu adalah pukulan – Kelabang Hijau — Hebatnya bukan main dan sangat beracun....!” Jarot Karsa menindih rasa terkejutnya. ”Pukulan Kelabang Hijau....,” keluhnya dalam hati. Hampir-hampir tak dapat dipercayanya kalau tidak menyaksikan sendiri. Dia tahu betul bahwa di dunia persilatan hanya ada satu manusia yang memiliki ilmu pukulan yang dahsyat ini yaitu seorang Resi bernama Tapak Gajah yang diam di lereng Gunung Lawu. Tapi kini muncul seorang lain yang memiliki ilmu pukulan itu. Apakah Mahesa Birawa ini muridnya Tapak Gajah? 

Kerut-kerut pada kening Jarot Karsa mengendur sedikit. Dicobanya menunjukkan mimik mengejek. ”Hanya pukulan Kelabang Hijau, apakah perlu ditakutkan....!” kata seorang tua bungkuk itu. 

Diam-diam Mahesa Birawa menjadi kaget melihat bahwa lawan mengetahui ilmu pukulan yang hendak dilepaskannya. Cepat dia membentak. 

”Kalau sudah tahu mengapa tidak segera berlutut, anjing tua?!” 

”Hanya monyet edan yang akan berlutut di hadapanmu Mahesa Birawa. Terimalah ini....!” dan tangan Jarot Karsa mendahului melepaskan pukulan tangan kosong yang dahsyat. 

Setengah tombak lagi angin pukulan yang menghembuskan maut itu melanda tubuh dan kepala Mahesa Birawa maka kelihatanlah laki-laki ini meninjukan tangan kanannya ke muka! 

Setiup angin laksana topan prahara dan mengeluarkan sinar hijau melesat ke muka. Angin pukulan Jarot Karsa terdorong dan balik menyerang orang tua itu sendiri! Jarot Karsa melompat ke samping. Tapi tak keburu. Sinar hijau pukulan Kelabang Hijau telah melanda pinggangnya. Suci menjerit dan menutup mukanya dangan kedua tangan. 

Orang tua itu berteriak setinggi langit. Tubuhnya terguling di tanah. Kulitnya kelihatan hijau. 

Dia mengerang dan menggelepar-gelepar seketika, kemudian nafasnya lepas, maka tubuhnya melingkar tanpa nyawa! 

”Manusia biadab!” bentak Ranaweleng. ”Orangku tiada permusuhan dengan kau. Mengapa kau bunuh dia?!” Mahesa Birawa atau Suranyali tertawa mengekeh. ”Sebentar lagi kau juga akan mampus Ranaweleng! Tapi aku masih berbaik hati untuk membiarkan kau angkat kaki dari sini. Kalau kau masih keras kepala ketahuilah bahwa ajal sudah di depan mata!” dan Mahesa Birawa tertawa lagi macam tadi. 

”Hari ini aku mengadu nyawa dengan kau manusia iblis!” teriak Ranaweleng. Maka menerjanglah Kepala Kampung Jatiwalu itu.

”Manusia keparat yang tidak tahu diri, hari ini terimalah mampus di tanganku!” bentak Mahesa Birawa seraya angkat lengan kirinya untuk menangkis pukulan lawan. Dua lengan beradu dengan keras, Ranaweleng terpelanting ke belakang sedang Mahesa Birawa hanya terjajar beberapa langkah saja. Lengan Ranaweleng yang beradu dengan lengan Mahesa Birawa kelihatan kemerahan dan perih. Laki-laki ini menggigit bibirnya menahan sakit. 

Dia maklum bahwa tenaga dalamnnya lebih rendah dari lawan. Karena itu dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sampai ke puncaknya, Ranaweleng tidak lebih digdaya dari Jarot Karsa. Sementara itu di langkan rumah terdengar jeritan-jeritan Suci pada kedua orang yang berkelahi itu. ”Suranyali! Kakang Rana! Hentikanlah perkelahian ini! Hentikanlah!” Suci tidak pernah tahu kalau Suranyali telah berganti nama menjadi Mahesa Birawa. Dan dia berteriak lagi, ”Kalian berdua tidak mempunyai permusuhan mengapa musti berkelahi?!” 

”Suci masuklah ke dalam!” sahut Ranaweleng kepada isterinya. Saat itu dia harus jungkir balik di udara mengelakkan pukulan lawannya. Di pihak Mahesa Birawa sudah barang tentu tiada niat sama sekali untuk menghentikan perkelahian. Bahkan teriakan-teriakan Suci tadi mendorongnya untuk lebih cepat menamatkan riwayat Ranaweleng! 

Dalam sekejapan saja kedua orang itu telah bertempur delapan jurus dan kelihatanlah dengan nyata betapa Ranaweleng terdesak dengan hebat. Pukulan-pukulan tangan kosong lawan mengurungnya dari berbagai jurusan. Dengan membentak keras serta mempercepat gerakannya dan mengandalkan ilmu mengentengi tubuh, Ranaweleng berusaha keluar dari kurungan pukulan lawan. Namun percuma saja. Tubuh Mahesa Birawa laksana bayang-bayang. Bergerak cepat sekali. Dan pada jurus ke sepuluh satu hantaman sikut kiri yang keras sekali menyambar rusuk kanan Ranaweleng. Ranaweleng merintih tertahan. 

Mukanya kelihatan pucat kebiruan. Dia tahu, sekurang-kurangnya dua dari tulang iganya telah patah dan tubuhnya di bagian dalam terluka hebat! 

Untuk beberapa lama dia berdiri limbung dengan pemandangan mata berkunang-kunang. 

”Ha.... ha....,” tertawa Mahesa Birawa. ”Sebentar lagi Ranaweleng, sebentar lagi ajalmu akan sampai. Lebih bagus cepat-cepat kau minta tobat pada Tuhanmu sebelum mampus!”

Mulut Ranaweleng komat kamit. Rahang-rahangnya menggembung. Kedua tangannya terpentang ke muka. Dia siap-siap untuk melancarkan pukulan tangan kosong yang dahsyat. 

Di lain pihak Mahesa Birawa berdiri laksana tugu. Kedua kakinya tenggelam satu senti ke dalam tanah. Tenaga dalamnya dialirkan ke segenap bagian tubuh untuk menghadapi serangan lawan. 

Tiba-tiba jeritan sedahsyat angin puting beliung keluar dari mulut Ranaweleng. Kedua tangannya bergerak susul menyusul dan gelombang Angin Panas menderu ke arah Mahesa Birawa. Yang di serang membentak dahsyat dan lompat tiga tombak ke udara. Begitu angin panas menggebubu di bawah kakinya, membakar hangus pohon-pohon di belakangnya, maka Mahesa Birawa segera menukik ke bawah laksana seekor elang. 

Pukulan Angin Panas yang dilakukan oleh Ranaweleng membutuhkan pemusatan tenaga dan pikiran yang besar. Beberapa detik sesudah dia melancarkan pukulan tersebut, keadaan dirinya masih terbungkus oleh pemusatan pikiran itu sehingga pada saat lawannya menukik dari atas dia terlambat meneyingkir. Untuk kedua kalinya Ranaweleng harus menerima hantaman lawan. Kali ini badannya hampir terjungkal ke tanah. Masih untung dia sempat menggulingkan diri kalau tidak pastilah tendangan kaki kanan Mahesa Birawa yang mengarah bawah perutnya menamatkan riwayatnya! 

Begitu bangun, karena tahu bahwa dia tak akan sanggup menghadapi lawan dengan tangan kosong maka Ranaweleng segera cabut keris eluk tujuh dari balik pinggangnya! Tapi betapa terkejutnya Ranaweleng ketika melihat ke muka. Mahesa Birawa berdiri dengan kedua kaki terpentang. Tangan kiri lurus-lurus ke muka, tangan kanan diangkat tingi-tinggi di belakang kepala dan tangan itu sudah menjadi hijau oleh racun ilmu pukulan Kelabang Hijau! 

Suci yang telah melihat kedahsyatan pukulan Kelabang Hijau itu menjerti keras. ”Sura!! Jangan....! Hentikan perkelahian ini!” Suranyali alias Mahesa Birawa sunggingkan senyum berbau maut. 

”Jika kau punya sepuluh senjata, keluarkanlah sekaligus Ranaweleng!” katanya mengejek. Hati Ranaweleng tergetar hebat. Keringat dingin mebasahi badannya. Seperti halnya dengan Jarot Karsa dia tak akan sanggup menghadapi kedahsyatan pukulan Kelabang Hijau tersebut. Tapi untuk lari menyelamatkan diri, sebagai seorang laki-laki, sebagai seorang yang berjiwa ksatria, tiada ada dalam kamus hidup Ranaweleng. Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup sebagai pengecut! Lagi pula dia sudah tahu benar bahwa lawan betul-betul menginginkan nyawanya. Karena itu Ranaweleng ambil keputusan untuk mendahului menyerang. 

Dengan keris sakti di tangan, Ranaweleng menerjang ke muka. Namun tetap sia-sia saja. Pada detik tubuhnya baru dalam setengah lompatan, tangan kanan Mahesa Birawa telah memukul ke depan! 

Suci menjerit. Tubuh Ranaweleng mencelat mental dan jatuh di tanah tanpa nyawa. Sekujur kulit tubuhnya bahkan sampai-sampai kepada keris sakti yang saat itu masih tergenggam di tangannya menjadi hijau oleh racun ilmu pukulan Kelabang Hijau! Suci pun menjerit lagi lalu lari menubruk suaminya. Tapi Mahesa Birawa cepat meloncat ke muka dan mencekal perempuan itu. Kalau sampai Suci menyentuh tubuh suaminya yang mati hijau itu maka dalam sekejapan racun yang menyerap di tubuh Ranaweleng akan mengalir ke tubuh Suci dan pastilah perempuan ini akan meregang nyawa pula! 

”Lepaskan aku! Lepaskan aku manusia terkutuk! Biadab!!” pekik Suci. 

”Sedikit saja kau menyentuh tubuh laki-laki itu kau akan keracunan Suci....!” 

”Aku tidak takut! Aku juga ingin mati!” 

”Kau masih terlalu muda untuk mati....!” 

Dan dengan sekali gerakkan tangannya, maka Mahesa Birawa segera membopong Suci di bahunya. Karena perempuan itu masih meronta-ronta dan menjerit-jerit serta memukuli punggungnya, maka Mahesa Birawa segera menotok urat darah besar di pangkal leher Suci sehingga perempuan itu menjadi kejang kaku kini. Sambil melangkah ke kudanya Mahesa Birawa memerintah kepada ketiga orang anak buahnya. 

”Bakar rumah keparat itu!” Kalingundil dan Krocoweti serta Majineng segera laksanakan perintah itu. Dalam sekejapan mata maka tengelamlah rumah besar Kepala Kampung Jatiwalu itu dalam kobaran api. 

Senyum puas membayang di muka Mahesa Birawa. Bila sebagian dari rumah itu sudah musnah di makan api, maka bersama anak buahnya segera ditinggalkannya tempat itu. 

Jeritan bayi yang baru berumur beberapa bulan terdengar melengking-lengking di antara kobaran lidah-lidah api yang membakar rumah. 

”Bayi itu! Bayi itu....!” teriak salah seorang di antara orang banyak yang berkerubung di halaman rumah Kepala Kampung. 

”Oroknya Raden Rana....! Aduh, kasihan!” 

”Kalau tidak lekas ditolong pasti mati!” 

Tapi semua orang di situ hanya bisa berteriak dan berteriak. Mana mereka berani menghambur menyelamakan bayi itu. Dan suara tangisan bayi semakin lama semakin kecil serta parau sementara nyala api mulai membakar tempat tidur di mana bayi itu terbaring! 

Pada saat suara tangisan bayi yang menyayat hati itu hampir tidak lagi kedengaran, pada saat orang banyak sudah tak tahu lagi apa yang mesti mereka perbuat untuk menyelamatkan itu orok, maka pada saat itu pula, entah dari mana datangnya kelihatan sesosok bayangan berkelebat dan lenyap masuk ke dalam kobaran api. Sesaat kemudian sosok tubuh itu keluar lagi dan melesat ke halaman lalu lenyap di jurusan timur. 

Demikian cepat dan sebatnya sosok tubuh itu bergerak sehingga tidak satu orangpun yang dapat melihat siapa adanya manusia tersebut ataukah betul bisa memastikan bahwa sosok tubuh itu adalah sesungguhnya manusia, bukan setan atau dedemit! 

Jangankan untuk melihat wajahnya, untuk memastikan sosok tubuh itu laki-laki atau perempuan juga tak satu orangpun yang bisa! 

Begitu cepat dia datang, begitu cepat dia lenyap! Hanya warna pakaian yang hitam saja yang bisa dilihat mata orang banyak saat itu. Dan hanya beberapa detik saja sesudah sosok tubuh itu lenyap maka rumah Ranaweleng yang terbakar itu runtuh ambruk dan lidah api mengelombang tinggi ke udara! 

Siapapun adanya sosok tubuh itu, entah dia manusia atau bukan, entah laki-laki atau perempuan, tapi yang pasti dan semua orang yang ada di situ tahu, bahwa sosok tubuh itu telah menyelamatkan bayi Ranaweleng dan melarikannya ke arah timur! 

Ketika Mahesa Birawa membuka pintu kamar dan membaringkan Suci di atas tempat tidur dan secara tak sengaja memandang ke dinding, maka meluncurlah seruan tertahan dari mulut laki-laki ini! 

Pada dinding papan kayu jati yang keras itu tertulis rangkaian kalimat yang berbunyi: 

APA YANG KAU LAKUKAN HARI INI 
AKAN KAU TERIMA BALASANNYA PADA 
TUJUH BELAS TAHUN MENDATANG! 

Tiada tertera nama dari siapa yang menulis tulisan pada dinding itu. Tulisan itu dibuat dengan sangat cepat. Dan Mahesa Birawa tahu, kalau bukan manusia yang mempunyai tenaga dalam luar biasa dahsyatna pastilah tak akan sanggup membuat tulisan semacam itu pada dinding kayu jati yang keras, karena tulisan itu dibuat dengan mempergunakan ujung jari!

---oooOooo---

Adalah hampir tak dapat dipercaya bila di puncak Gunung Gede yang semustinya sepi tiada bermanusia, pada siang hari yang panas terik itu terdengar suara lengkingan tawa manusia! Sekali-sekali lengkingan itu hilang, berganti dengan suara yang membentak yang kadang-kadang dibarengi oleh suara gelak membahak lain! Jelas bahwa ada dua manusia di puncak Gunung Gede saat itu! Dan keduanya kelihatan tengah bertempur dengan segala kehebatan yang ada. Bertempur sambil tertawa-tawa! Siapakah mereka ini?!

Prev  -  Next

No comments:

Post a Comment